Mungkinkah Membela Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Tapi Tidak Mentaati Beliau ?
MUNGKINKAH MEMBELA NABI SALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TAPI TIDAK MENTAATI BELIAU SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM?
Oleh
Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra MA.
Kemarahan yang meledak dari umat Islam di bumi belahan timur dan barat kepada orang-orang yang melecehkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyisakan pertanyaan, “Sejauh manakah kita taat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Umat Islam telah berpecah-belah menjadi sekian kelompok dan golongan. Setiap golongan merasa mantap dengan apa yang diyakininya. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah memperingatkan bahaya perpecahan. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Mâjah, dari Auf bin Mâlik bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ
Demi Dzat yang aku berada di tangan-Nya. Umatku akan benar-benar terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Satu golongan di surga dan tujuh puluh dua golongan di neraka.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka (yang berada di surga)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “al-jamâ’ah.”[1]
Persatuan umat yang terbentuk di hadapan musuh ketika membela kehormatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mestinya dijadikan momen untuk mengajak kaum Muslimin seluruh dunia agar meninggalkan perpecahan dan silang-pendapat untuk selanjutnya bersatu di bawah naungan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan pemahaman Salaful Ummah, serta ber’gabung’ bersama para Ulama pemegang panji tauhid dan pembela kehormatan dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketaatan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan konsekuensi dan tuntutan dari syahadat (persaksian) kita bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh Azza wa Jalla. Sebab persaksian bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allâh maknanya adalah mentaati perintahnya, membenarkan berita yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan, menjauhi larangan dan peringatannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta tidak beribadah kepada Allâh kecuali dengan syariatnya.
Demikianlah bentuk pengagungan yang sempurna kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta penghormatan yang tertinggi. Pengagungan model apakah yang bisa diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamoleh orang yang meragukan atau enggan taat kepada beliau atau mengadakan bid’ah dalam agama beliau dan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan cara yang tidak sesuai dengan cara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?! Karena itu, begitu keras pengingkaran Allâh kepada orang-orang yang melakukan ibadah dengan cara-cara yang tidak pernah disyariatkan. Allâh berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh ? [as-Syûra/42:21]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak [HR. Bukhari, no. 2550 dan Muslim, no. 4590]
Bukti pembelaan yang serius terhadap (kehormatan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengagungkan syari’ah (risalah) yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dalam al-Qur`ân dan Sunnah (Hadîts) dengan pemahaman Salaful ummah. Yaitu dengan cara mengikuti dan berpegung teguh dengannya secara lahir dan batin, selanjutnya dengan menjadikan syari’ah ini sebagai hakim (penengah) dalam segenap sisi kehidupan dan urusan-urusan yang khusus maupun umum. Sungguh mustahil, keimanan akan sempurna tanpa itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّىٰ فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا أُولَٰئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ
Dan mereka berkata, “Kami telah beriman kepada Allâh dan rasul, dan kami mentaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. [an-Nûr/24:47]
Sikap ini jelas merupakan bentuk pembelaan yang hakiki dan penghormatan yang sejati. Pasalnya, standar penilaian dalam segala urusan adalah kenyataan yang dibuktikan, bukan sekedar penampilan lahiriah atau simbol-simbol kosong atau pernyataan hampa. Karenanya, Allâh mengedepankan adab ini dari adab-adab lain yang mesti dilakukan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh Azza wa Jalla melarang mendahului keputusan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keputusan yang tidak sejalan dengan keputusan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pernyataan yang tidak sesuai dengan sabda beliau. Akan tetapi, mestinya mereka mengikuti segala perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tunduk kepada beliau dan menjauhi larangan beliau. Allâh berfirman di permulaan surat al-Hujurât :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allâh dan Rasûlnya dan bertaqwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-Hujurât/49:1]
Termasuk sikap تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ (lancang mendahului Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) yaitu sikap lebih memperioritaskan pemakaian undang-undang dan peraturan produk manusia daripada syari’at yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau lebih mengutamakan hukum lain daripada hukum (ketetapan hukum) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menyamakan hukum produk manusia tersebut dengan ketetapan hukum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamatau berkomitmen untuk tetap berpegang teguh dengan ketentuan yang jelas-jelas bertentangan dengan petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ/4:65]
Orang yang paling berkomitmen dengan sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling besar kansnya untuk menenggak air dari telaga Rasulullah adalah ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Karena mereka menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengikuti syari’at dan petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sebagian orang ada yang menampakkan bahwa dirinya sedang melakukan pembelaan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ironisnya, ia justru tidak menaati perintahnya atau tidak menjauhi larangan dan tidak menghiraukan peringatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, terkadang kita temukan, sebagian dari mereka bermalasan dalam menjalankan shalat fardhu, mencukur jenggot, isbâl (memanjangkan celana sampai menutupi mata kaki) dan berbuat berbagai macam maksiat dan kemungkaran.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pengagungan kepada para utusan Allâh diwujudkan dengan cara membenarkan berita yang mereka kabarkan dari Allâh, menaati perintah mereka, mengikuti, mencintai dan berwala kepada mereka, bukan (sebaliknya,) malah mendustakan risalah yang mereka emban, menomorduakan mereka atau berbuat melampaui batas dalam mengagungkan mereka. Justru ini adalah bentuk kekufuran terhadap mereka, pelecehan dan permusuhan terhadap mereka.”
Jadi, Ittiba’ (mengikuti) rasul adalah barometer untuk mengukur sejauh mana kejujuran orang yang mengaku-aku mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, tidak masuk di akal atau tidak dapat dibayangkan, ada orang mengklaim mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghormati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tapi (pada saat yang sama, dia) tidak berpegang teguh dengan perintah atau larangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tidak memberikan perhatian dan memperhitungkan apa yang dibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allâh telah menjadikan ittibâ (mengikuti) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pertanda kecintaan kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali Imrân/3:31]
Bahkan lebih dari itu, Allâh Azza wa Jalla menjadikannya sebagai syarat keimanaan dimana pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammeupakan bagian dari keimanan itu. Allâh berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[an-Nisâ/4:65]
Ittibâ juga merupakan sifat kaum Mukminin, sebagaiman tertuang dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban oran-orang Mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allâh dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh”. dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. [an-Nûr/24:51]
Juga dalam firman-Nya :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allâh dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. [al-Ahzâb/33:36]
Kesimpulannya, tidak ada orang yang mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya orang-orang yang berpegang teguh dengan petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berjalan di atasnya serta mengikuti petunjuk beliau.[2]
Para Sahabat telah memperlihatkan praktek nyata yang sangat istimewa dan tindakan yang sangat jujur dalam membela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan mengorbankan jiwa, harta dan anak untuk menebus beliau dalam kondisi senang atau tidak, seperti yang disebutkan oleh Allâh dalam firman-Nya :
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. mereka Itulah orang-orang yang benar. [al-Hasyr/59:8]
Barangsiapa ingin mencintai dan membela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hendaknya ia mengagungkan perkataan dan sunnah beliau melebihi pengagungannya terhadap perkataan selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Manakala pengagungan kepada Nabi telah meresap di hati, terpahat di dalamnya dalam kondisi apapun, maka pasti pengaruh positifnya akan tampak nyata pada anggota badannya.
Saat itulah, akan terlihat lisannya terus memuji dan menyanjung beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menyebut-nyebut sisi kebaikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sementara organ tubuh lainnya juga terlihat mengikuti syari’at yang dibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjalankan apa yang menjadi hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berwujud pengagungan dan penghormatan. Dan bukti pengagungan yang benar tulus ialah mengagungkan petunjuk yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa berupa syari’at yang terkandung dalam al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman salaful ummah, yaitu dengan mengikuti dan berpegang-teguh dengannya secara lahir dan batin serta menetapkannya sebagai hakim dalam seluruh aspek kehidupan dan segala urusan. Tidak mungkin keimanan akan sempurna tanpa itu. Wallahu a’lam.
(Tulisan ini dikutip dari makalah Penulis berjudul Taqwimul Mafahi al-Khathi’ah Indal Ghulati wal Jufati fid Difa’i’anin Nabbiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dipresentasikan dalam muktamar bertema Nabiyyir Rahmati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diadakan oleh Jum’iyyah al-Ilmiyyah as-Sa’udiyyah lis Sunnati wa Ulumiha di kota Riyadh Saudi Arabia)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1432H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1] HR. Abu Dâwud no. 1299, Ibnu Mâjah no. 3992, dishahihkan al-Albâni rahimahullah
[2] Huqûqun Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam ‘ala Ummatihi, 2/475
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3597-mungkinkah-membela-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-tapi-tidak-mentaati-beliau.html